Senin, 29 Februari 2016

MELANJUTKAN, ATAU MENGAKHIRI PERNIKAHAN..

Buat saya, kehidupan pernikahan adalah segalanya, seperti bernafas, tanpa suami dan anak-anak--maka saya akan "mati".
Sebegitunya?
Memang iya. saya selalu menempatkan kehidupan dalam zona nyaman.
hmm..bukankah itu membosankan?
Bahkan tidak, Karena untuk menuju zona nyaman, selalu berkutat dengan ketidaknyamanan.
Menghalau yang tak nyaman-nyaman  dan kemudian mendekatkan pada yang nyaman--itu merupakan tantangan setiap hari yang harus ditaklukan.
Begitu pula dalam hubungan suami istri.
Naik-turun, tapi tak setajam roller coster. jika sedang masa-masa harmonis sangat---begitu melenakan. Namun jika sampai pada titik turuun--woww setengah mati menjaganya agar bisa naik kembali, dan itu tantangan menuju ke zona nyaman, sungguh berwarna..

Sebagai pendengar dan pemberi solusi curhatan ibu-ibu yang sedang 'bermasalah' dengan pasangannya, sebagian besar dari mereka berpikir tentang "cerai". jika ingin melanjutkan pernikahan yang terbata-bata, mereka (ibu-ibu) itu dengan banyak keluhan dari 'a-aa' kembali.
Seriuskah mereka untuk melanjutkan pernikahan?
adapula yang tiap hari kerjanya memata-matai suami--menuliskan dengan tinta merah setiap kesalahan suami, dan kemudian melaporkan kepada saya.
haduh! ini untuk apa coba!

Seorang sahabat yang kebetulan seorang single parrent bertutur, pada dasarnya wanita dituntut tegas untuk menentukan jalan kehidupan perkawinannya:
jika masih komitmen ingin melanjutkan perkawinan----tak usah kasak-kusuk menggelar aib pasangan, fokus untuk perbaiki keadaan, tak ada gading yang tak retak, dan stop banyak umbar kesedihan sana-sini.

Nah, jika tak kuat dan anggap kehidupan pernikahan menjadi mudharat untuknya---pikirkan menepi dan tidak takut mengambil keputusan penting dan besar, dan segera memulai kehidupan baru.
Butuh keberanian, bukan suka digantung dan menggantung.
Sulit? itu memang salah satu konsekwensi terbesar dari sebuah perkawinan..

melanjutkan, atau mengakhiri pernikahan bukan hal yang main-main..semuanya serius, bagi para istri untuk komitmen dengan pilihannya.
Lha para suami?
saat ini saya baru nyasar pada ibu-ibu yang hobi curhat ke diriku.
Tak ada sesuatu yang tak mungkin jika dengan niat tinggi untuk perbaiki sesuatu. dengan melanjutkan atau mengakhiri pernikahan, semuanya dengan konsekuensi yang sama-sama tak mudah untuk menanggungnya.
Jangan suka menggantung dan digantung dan jangan membongkar aib keluarga di medsos atau orang lain secara berlebihan..
So, jadilah orang yang bisa menjadikan penentu bagi kehidupanmu sendiri..

Rabu, 21 Oktober 2015

BENARKAH ADA ONANI YANG DIBOLEHKAH DALAM ISLAM?


            Ada salah satu pertanyaan yang menggelitik dari seorang teman mengenai onani. Walau terkesan sangat privacy, namun sebenarnya hukum fikih onani itu sudah ketahui oleh banyak sahabat Ummi belum? Dan apakah benar ada onani yang diperbolehkan dalam Islam?
            Memang tak semua yang ada disekitar kita, yang menjadi ‘milik’ kita adalah bebas digunakan, karena merasa sudah menjadi haknya. Ternyata tak semuanya demikian. Messki kita punya uang banyak, tak lantas kita boleh menggunakan uang itu tanpa aturan, misalnya untuk berzina, menyogok atau bahkan untuk menghilangkan nyawa seseorang. Islam memiliki aturan-aturan yang harus dipahami dan ditaati atas beberapa kepemilikan seseorang atas sesuatu.
Semua hal didunia ini tanpa kecuali mempunyai pertangungjawaban di akherat  kelak. Dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat tidak akan bergerak, hingga dia ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. Tentang ilmunya, untuk apa dia amalkan. Tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan kemana dia belanjakan. Dan tentang badannya, untuk apa dia gunakan. (HR. Turmudzi 2417, ad-Darimi 554, dan dishahihkan al-Albani).
            Dari sini bisa disimpulkan, tak harta, tak badan, tak ilmu, semuanya dimintai pertanggungjawaban tanpa kecuali. Seperti hal juga saat kita memiliki anak, suami, atau istri bukan berarti kita bebas memperlakukan mereka sekehendak hati, begitu pula dalam urusan berjima atau urusan ranjang. Ada aturan-aturan dalam fikih Islam yang tak begitu saja boleh dilanggar. Tak sembarang perlakukan, tak sembarang gaya boleh dilakukan.
            Jika seorang suami ingin melakukan onani sendiri atau dengan bantuan oranglain selain istri atau (zaman dahulu adalah budaknya), maka hal itu tidak diperkenankan, walaupun sang suami sudah minta izin terlebih dahulu kepada istrinya. Karena hal tersebut karena bukan istri untuk meluluskan perkara itu, namun sudah ada aturan dalam hal ini dalam Islam:
Dalil pokok yang melarang onani adalah firman Allah,
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,  kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-Mukminun: 5 – 7).
            Islam sudah mengatur bagaimana seorang lelaki seharusnya menyalurkan syahwatnya. Karena selain dari itu, berarti termasuk orang-orang yang melampoi batas. Namun ada beberapa permasalahan yang cukup penting, saat istri haid dan suami ingin melepaskan syahwatnya bagaimana harus berperilaku?
            Ternyata jawabannya suami boleh melakukan onani yang halal bukan dengan oranglain selain istrinya atau melakukannya sendiri namun dengan tubuh istrinya selain melalui dubur dan mulut.  Potongan ayat Al Mukminun diatas yang menjadi dasar hal ini adalah:
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki
            Selain itu saat haid boleh suami istri berinteraksi dalam bentuk cumbu atau bermesraan selain daerah bawah pusar sampai lutut. Hal ini ada kesepakatan ulama dengan dalil:
“Apabila saya haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk memakai sarung kemudian beliau bercumbu denganku”. (HR. Ahmad 25563, Turmudzi 132 dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
             Imam Ahmad, dan beberapa ulama hanafiyah, malikiyah dan syafiiyah berpendapat bahwa itu dibolehkan. Dan pendapat inilah yang dikuatkan An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (3/205).
            Lalu, bagaimana jika suami ingin melakukan onani saat istri haid dengan menggunakan tangan istri? Hal ini bisa dijawab dengan. Hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ketika para sahabat menanyakan tentang istri mereka pada saat haid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Lakukanlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah.” (HR. Muslim 302).
           
            Menurut beberapa ulama, kata ‘nikah’ itu berarti hubungan intim ini dalau Aunul ma’bud, 1/302.
            Untuk itu sahabat Ummi, pengetahuan mengenai onani ini bukan hal sepele bagi yang belum paham. Pada saat darurat, dimana istri sedang haid, maka mendekati istri untuk mencumbunya diperbolehkan, bahkan ada ulama yang menafsirkan ‘bisa menggunakan tangan istri’ untuk membantu mencapai klimaks-nya. Namun jika para suami berkenan untuk ‘menunda’ keinginannya itu lebih baik. Penafsiran yang berbeda, tidak perlu ditanggapi dengan gegap gempita. Setiap orang mempunyai pegangan dengan dalil masing-masing yang shahih, dan mari pergunakan dalil-dalil dan pendapat para ulama dengan sebijaksananya.
Referensi: berbagai sumber
           



SEBAIKNYA QURBAN DAHULU ATAU AKIKAH?


            Sahabat ummi, beberapa orang mulai bertanya-tanya jika Idhul Qurban mulai mendekat. Apakah Qurban dulu yang didahulukan, atau akikah untuk anaknya? Sebenarnya pertanyaan ini juga harus dipilah-pilah, apakah akikah itu untuk anak yang lahir sebelum Idhul Qurban datang, atau akikah anak yang sebenarnya usianya sudah bertahun-tahun, atau bahkan ingin akikah untuk diri sendiri?
            Sebenarnya sahabat Ummi, akikah dengan qurban hukumnya sama-sama kuat, yakni sunnah muakkad (yang sangat ditekankan), demikian mayoritas ulama berpendapat. Hal ini terdapat dalam riwayat Muslim dari sahabat Ummu Salamah, bahwa Nabi SAW bersabda,
“Apabila kalian melihat hilal bulan dzulhijah dan kalian hendak berkurban maka jangan menyentuh rambut dan kukunya.”
            Berdasarkan keterangan hadis diatas, berarti memang hukum qurban bukanlah wajib, namun sunnah yang sangat ditekankan bagi yang mampu melaksanakannya. Lalu, apa yang seharusnya didahulukan oleh seorang muslim, berqurban terlebih dahulu atau akikah? bagaimana jika seseorang ingin melaksanakan keduanya, yakni akikah dan qurbannya sekaligus? Jika memang mapu dilaksanakan itu lebih baik.
            Semisal anak yang lahir seminggu sebelum hari raya Qurban itu lelaki, maka akikahnya di sunahkan 2 ekor kambing, ditambah satu ekor kambing untuk qurban, berarti ada tiga kambing. Akan tetapi jika tak mampu tiga, hanya bisa dua saja, maka satu untuk qurban dan satunya lagi untuk akikah, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah untuk putranya. Namun jika suatu hari nanti ada rezeki lebih maka bisa memotong lagi satu kambing yang diniatkan untuk akikah.
            Ada beberapa orang yang ingin tahu apakah akikah dan qurban itu sejatinya bisa digabungkan? Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, ada yang menganggapnya sah, ada pula yang menganggapnya hal ini tidak bisa digabungkan.
-          Pendapat jika qurban tak bisa digabungkan dengan akikah adalah pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan sebagian Imam Ahmad. Mereka mengatakan jika akikah dan Qurban adalah dua ibadah yang berdiri sendiri, hingga dalam pelaksanaannya tak bisa digabungkan, sehingga tak bisa saling menggantikan.
Hal ini seperti pendapat al-Haitami mengatakan, jika Dzahir pendapat ulama Syafi’iyah apabila seseorang  meniatkan satu kambing untuk qurban sekaligus untuk akikah maka tidak bisa mendapatkan salah satunya. Dan yang inilah pendapat yang lebih kuat, karena masing-masing merupakan ibadah tersendiri (Tuhfatul Muhtaj 9/371).
Namun bagaimana jika daging qurban itu untuk hidangan akikah, sah-kah hukumnya? Al-Hathab mwngatakan, jika Abu Bakr al-Fihri menyatakan jika niat kurban adan akikah digabung, maka tidak sah, karena tujuan dari qurban dan akikah adalah sama-sama mengalirkan darah bukan dagingnya, sementara dua tujuan adalam mengalirkan darah tak bisa diwakilkan dengan satu binatang.  namun  jika niat qurban lalu dagingnya untuk wamilah, hal ini dimungkinkan karena tujuan qurban adalah mengalirkan darah sedang walimah hanya membutuhkan daging saja, atau makanan. (Mawahibul Jalil, 3/259).
-          Mazhab Maliki membolehkan menggabungkan antara qurban dengan akikah dan ini merupakan mazhab Hanafi, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat beberapa tabi’in seperti Hasan al-Bashri, Muhammad bin Sirrin dan Qatadah.
Al-Buhuti menyatakan jika akikah adan qurban waktunya bersamaan, hewannya bisa diniatkan untuk keduanya maka hukumnya sah, berdasarkan keterangan dari Imam Ahmad (Kasyaful Qana’, 3/30)
            Sahabat Ummi, jika demikian, maka Anda bisa mengambil kesimpulan mana yang diyakini mempunyai pendapat yang kuat. Jika Anak akan diakikahi sudah besar, semisal sudah diatas 5 tahun, karena saat sunnah akikah orangtuanya belum mempunyai dana untuk itu, maka jika ingin akikah waktunya dekat dengan Idhul Qurban, bagaimana menyikapinya? Lebih afdhol berqurban terlebih dahulu, akikah bisa dilakukan lain hari saat ada rezeki dari Allah.


Referensi: berbagai sumber.

BOLEHKAH WANITA MENCABUT ATAU MENIPISKAN BULU ALIS MATA UNTUK HIASAN DIHADAPAN SUAMINYA?


            Sahabat Ummi, dalam perkara berhias, semakin hari selalu ada saja yang ingin dipercantik wanita. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku. Namun tak semua aktivitas berhias para wanita diperbolehkan dalam Islam, alias haram. Salah satunya adalah mencabut bulu alis atau menipiskan bulu alis.
            Mengapa para wanita tak pernah puas dengan pemberian Allah ini? Dengan mencabut atau menipiskan, malah terkadang menjadi malapetaka sendiri jika wanita mengetahuinya. Selain tidak diperbolehkan, dalam segi kesehatanpun bisa mengalami masalah.
            Lalu sebenarnya apa hukum para wanita yang mencabut bulu alis dan membuangnya serta merta diganti dengan bulu alis buatan yang berwarna? Hukumnya adalah haram karena termasuk mengubah ciptaan Allah.
            Khalid al Husain menyebutkan ketidak bolehan ini termasuk digunting atau dicukur alis mata ini karena termasuk ‘namsh’ (mencabut bulu) yang dilaknat Rasulullah bagi yang melakukannya dan termasuk perbuatan dosa. Ingat ya sahabat Ummi, hal ini adalah perbuatan yang terlaknat.
            Bagaimana dengan mencabut bulu tangan, betis atau kumis dan jenggot bagi wanita, karena ada pula sebagian kecil wanita yang tumbuh bulu di atas bibirnya? Jawabannya adalah boleh.         
            Salah satu kajian kedokteran menyebutkan mencabut atau menghilangkan bulu alis dan kemudian menggambarnya dengan pensil atau make up kulit bisa menimbulkan dampak yang buruk, karena bahan-bahan itu bisa berbahaya bagi kulit alis.
            Lalu, jika hanya mewarnai bulu alis mata, bagaimana hukumnya? Syaikh Ibnu Jibrin melarangnya, namun Syaikh Ibnu Mani’ membolehkannya. Apabila wanita hanya ingin merapikannya, dengan memotong sedikit yang menganggu? Maka jawabannya boleh.
            Pertanyaan yang cukup menggelitik menyebutkan, jika wanita ingin menipiskan bulu alisas karena merasa terlalu tebal hanya sebagai hiasan untuk suaminya, bukan niatan memamerkan untuk orang lain apakah hal tersebut diperkenankan? Ternyata jawabannya tidak boleh, karena hal itu tetap dianggap namsh dan Rasulullah melaknatnya.
            Maka berhati-hatinya para wanita saat ingin memutuskan berhias, walaupun hanya untuk kepentingan suami saja, fikih wanita memang harus dipahami agar wanita yang ingin cantik malah tersesat dalam lembah dosa.
Referensi:
-Khalid al-Husain, Fikih Wanita, Darul Haq, Jakarta, 2011
-Candra Nila Murti Dewojati, 202 Tanya Jawab Fikih Wanita, Al Maghirah, Jakarta, 2013


BOLEHKAH MINTA CERAI SAAT SUAMI TAK MENAFKAHI ISTRI?


Sahabat Ummi, ada curhatan seorang teman mengenai masalah rumahtangga adiknya yang seolah diujung tanduk . Sang suami bukan tipikal seorang lelaki yang tahan banting menghadapi kehidupan terutama untuk kewajibannya memberi nafkah kepada anak istrinya, padahal  hal tersebut merupakan hal yang paling urgent dalam kehidupan sehari-hari.
Memang seperti ini menjadi dilema para istri, apalagi dlam pernikahan mereka sudah ada buah hati dan ini merupakan hal yang terberat untuk memutuskan akan diteruskan tidak ikatan pernikahan mereka. Dan sedihnya, hal ini bukan hanya kisah tunggal, maksudnya banyak sami-suami berbuat serupa.
 Pertanggungjawaban untuk memberi nafkah yang selayaknya tak terlalu digubris, para suami yang ‘tak menyenangkan’ ini malah asyek dengan hobinya yang tak ketahuan juntrungnya, bersikap loyo tak bersemangat mengejar rezeki Allah yang baik, bahkan lelaki pemalas ini malah banyak ongkang-ongkang dengan teman-temannya. Hal ini juga diperparah dengan menggantungkan istri, saat istrinya punya pekerjaan. Dunia yang terbalik.
Selayaknya rumahtangga dibangun atas dasar pemenuhan hak-hak dan kewajiban suami-istri agar menjadi rumahtangga yang sakinah mawaddah warohmah dan inilah yang menjadikan idaman setiap keluarga. Dan ingat memberi nafkah lahir batin itu bukan hanya sekedarnya tapi sudah menjadi kewajiban suami, sementara istri punya kewajiban untuk taat kepada suami.

Allah Ta’ala berfirman“...dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (QS Al Baqarah: 233). Rasulullah saw juga bersabda“Kewajiban kalian (suami) atas mereka (istri) memberikan makanan dan pakaian dengan baik.
            Nah apabila suami ‘ingkar’ untuk memberikan kewajibannya dengan baik pada keluarganya, maka apa yang mesti dilakukan? Bolehkan istri menuntut bercerai pada suaminya kepengadilan Agama. Jawabannya boleh. Gugatan ke Pengadilan Agama disebut tafriq qadha’i (perceraian melalui pengadilan agama). Hal ini sebagaimana tertuang dalam shighat ta’liq yang dibacakan atau diikrarkan oleh suami saat akad nikah berlangsung.
            Dalam ucapan ikrar itu terdapat poin-poin yang harus dipahami oleh suami istri saat menjalani kehidupan berumahtangga yakni apabila seorang suami:
  1. Meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut.
  2. Atau tidak memberi nafkah wajib kepadanya selama tiga bulan lamanya.
  3. Atau menyakiti badan/jasmani istri.
  4. Atau membiarkan (tidak memedulikan) istri selama enam bulan.
Jika suami melakukan salah satu dari keempat poin tersebut dan istri tidak ridha, maka istri dapat mengadukannya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberikan hak mengurus pengaduan itu. Pengaduannya bisa dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri membayar uang pengganti atau ‘iwadh kepada suami. Jika proses ini berjalan dengan baik maka jatuh talak satu kepadanya. Begitulah bunyi shighat ta’liq. Dan ini bukan hanya saja tertera di buku nikah, namun bisa menjadi acuan bagi istri untuk bisa mencari keadilannya jika suami  tidak memberikan nafkah yang seharusnya ia terima selama 3 bulan berturut-turut atau bahkan bertahun-tahun.
Maka untuk para suami, jangan lalaikan kewajiban pokok untuk menafkahi anak istri dan memberikannya secara patut, jangan pelit pada mereka jika sebenarnya bisa memberikan uang lebih dari yang diberi saat keadaan sangat membutuhkan. Kehidupan rumahtangga yang beragam ini jangan dijadikan duri dalam daging yang membuat istri selalu tertekan untuk membicarakan atau melakukan suatu upaya hukum ke pengadilan Agama, saat suami sudah tidak memperdulikan lagi keadaan istri dan keluarga.


Referensi: berbagai sumber

MENGATASI ALZHEIMER DENGAN CARA ISLAM


Sahabat Ummi, penyakit alzheimer yang biasa disebut orang dengan kepikunan, secara medis tak bisa disebuhkan, karena meski bukan penyakit menular, penyakit ini merupakan sejenis sindrom dengan apoptosisi sel-sel otak pada saat hampir bersamaan, hingga otak tampak tampak mengerut dan mengecil. Syndrom ini biasanya dialami oleh orang-orang tua, bisa juga dialami usia produktif meski jumlahnya hanya sedikit. Penyakit ini bisa menyerang biasanya pada usia 65 tahun keatas, meski banyak pula yang menjangkiti diawal usia 50 tahun.
Meski dianggap gejala alamiah, namun sejatinya manusia dapat memperkecil resiko penyakit ini memang salah satu usaha untuk memperbaiki diri agar Alzheimer tak mudah menyerang diusia yang masih produktif. Lalu apa cirri-ciri dari penyakit ini?
1.      Penderita biasanya mengalami gangguan daya ingat. Seperti lupa akan janji, lupa menanyakan sesuatu atau menceritakan sesuatu yang berulang kali dan lain sebagainya.
2.      Biasanya sulit untuk focus. Walaupun pekerjaan sederhana sekalipun, jadi menjadi berat karena lupa cara mengoperasikannya, melakukannya, lupa bumbu misalnya sedang masak, tak bisa menghitung walau hitungan sederhana.
3.      Sulit mengerjakan pekerjaan yang sederhana dan familier. Seperti bingung caranya mengemudi dan kesulitan saat atur keuangan
4.      Disorentasi. Seringkali orang tua lupa jalan untuk kembali kerumah, hingga kerap ‘hilang’. Bahkan untuk waktu seperti hari, tanggal, jam sering kebingungan.
5.      Sulit memahami visuospasial. Yakni yang berhubungan dengan jarak, membedakan warna, tak mengenali wajah sendiri dicermin, sampai jika haruas menuang air digelas tak bisa tepat.
6.      Gangguan berkomunikasi, yakni kesulitan menemukan kata tepat, atau bingung untuk melanjutkan kata-kata saat bercakap-cakap.
7.      Menaruh barang tidak pada tempatnya. Terkadang saking takut dicuri misalnya jadi lupa menaruh barang.
8.      Salah membuat keputusan. Misalnya tak bisa memperhitungkan saat bertransaksi, tak bisa berpakaian dengan seraso dan tidak bisa merawat diri dengan baik.
9.      Menarik diri dari pergaulan. Hal ini karena tak banyak kegiatan yang dilakukan, hingga tak bersemangat untuk melakukan aktivitas atau hobi dan tidak bersemangat berkumpul dengan teman-teman atau komunitasnya.
10.  Perubahan terhadap perilaku juga kepribadian. Tak heran jika orang yang mengalami gejala Alzheimer bisa mempunyai sifat yang mudah marah, padahal dulunya lemah lembut, mudah curiga, padahal ia oarng yang sangat percaya. Juga merasa depresi berkepanjangan, kecewa seta mudah putus asa.
Alzheimer jangan hanya dimaklumi sebagai suatu penyakit pikun yang bisa menderita orang tua dimana saja berada. Namun beri bantuan, jalan keluar atau solusi agar tidak menambah tingkat keparahan penyakit ini. Karena biasanya orang yang menderita gejala ini mudah sekali emosi yang tak terkendali, berperilaku aneh, tidak seperti dirinya dahulu atau melakukan hal-hal yang menyebalkan dimata oaring-orang yang didekatnya.
Dalam Islam, ada beberapa hal yang bisa digunakan sebagai penangkal atau paling tidak mengurangi percepatan penyakait Alzheimer, atau bahkan InsyaAllah tak pernah menyerang sampai ajal menjemput. Hal itu bisa dilakukan dengan apa?
1.      Banyak berdzikir, hati akan tenang. Kebanyakan orang-orang yang mengidap Alzheimer karena awalnya dari stress yang berkepanjangan. Ketakutan atau kekhawatiran tentang sesuatu, misalnya pensiun,takut ditinggal ananak-anak yang menikah, atau khawatir tak mendapat kasih sayang cukup dari pasangan. Stress itu akibat hati tak tenang. Maka Islam mengajar setiap saat, setiap keadaan selalu sertakan asma Allah dan itu akan membantu terjauh dari kepikunan.
2.      Banyak sedekah. Dengan empati pada fakir miskin, perhatian tak terfokus pada satu tempat yang menjadikan depresi. Sedekah membantu orang-orang berpikiran jernih, ikhlas dan merasa bahagia bisa membantu orang. Dengan sedekah akan banyak doa dari orang yang dibantu, InsyaAllah penyakit ini tak menghampiri.
3.      Belajar untuk ikhlas. Susah memang, tapi jika itu dilakukan sejak lama tak menunggu tua, akan lebih mudah menjalaninya.
4.      Banyak membaca Al Qur’an. Satu huruf dari ayat-ayatNya adalah obat penyembuh dari banyak penyakit hati.
5.      Senang untuk mendengarkan atau ikut kajian. Dengan sosialisasi secara positif, menambah ilmu akan membuat hati menjadi ‘penuh’ dan tidak merasa sendirian.
6.      Menambah ilmu dengan senang membaca, atau mencari ilmu di internet, toko buku atau perpustakaan. Orang yang senang membaca akan terus menerus menggerakan otak berpikir.
7.      Banyak melakukan ibadah dalam berbagai kondisi. Seperti shalat lima waktu, shalat sunnah, puasa sunah dan banyak lainnya.
Alzheimer bukan harga mati untuk orang-orang yang beranjak tua. Jika mungkin dihindari atau diperkecil tingkat keparahannya mengapa tidak. Dengan mendekatkan diri banyak kepada Islam, insyaAllah kehidupan ini akan jauh lebih baik.

Referensi: Berbagai sumber

BENARKAH SHOHIBUL QURBAN MENDAPAT BAGIAN SEPERTIGA?


            Sahabat Ummi, berapa orang masih bertanya-tanya mengenai seberapa besar bagian shohibul Qurban, atau orang yang menyerahkan hewan qurbannya? Ada beberapa shohibul qurban bercerita pada suatu daerah atau tempat, mereka diberi bagian sama dengan masyarakat lain, semisal dalam suatu tempat, para shohibul qurban diberi satu kilo gram daging qurban, maka mereka pun dapat bagian yang sama. Dikarenakan hal ini merrupakan kesepakatan mereka bersama atau keputusan panitia qurban. Apakah benar demikian?
            Syaikh Abu Malik dalam Sahih Fiqh Sunnah memberikan keterangan, jika sebagia ulama menyatakan jika shohibul qurban disunnahkan bersedekah dengan sepertiga hewan qurbannya, memberi makan dengan sepertiganya, dan sepertiganya lagi dimakan oleh keluarganya. Namun apakah ada riwayat yang kuat yang menyebutkan demikian? Ternyata beberapa ulama menyebutkan jika riwayat ini adalah sebenarnya riwayat lemah. Lalu, seharaus bagaimana shihibul qurban bersikap?
            Ada beberapa ulama menegaskan jika mengenai hal ini sebaiknya keputusan dikembalikan lagi pada orang yang berqurban apakah akan mengambil bagian sepertiga untuk dirinya dan keluarganya, atau akan menyedekahkan semuanya, atau hanya mengambil sedikit. Akan tetapi untuk panitia qurban, janganlah menggunakan pemikiran sendiri untuk membagi sama rata antara shohibul qurban dan penerima qurban, hal ini didasarkan dari fatwa Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) yang mengatakan jika, “Hasil sembelihan qurban dianjurkan dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.”

 Bagaimana cara pembagiannya, sepertiga atau kurang dari itu? Lebih lanjut Al Lajnah Ad Da-imah ini ini mengatakan jika hasil sembelihan itu boleh pembagiaannya itu lebih atau kurang adari sepertiga. Dan hasil sembelihan qurban itu lebih utama sepertiganya dimakan aoleh shohibul qurbanm sepertiganya dihadiahkan pada kerabat dan tetangga dan sepertiganya untuk fakir miskin. Namun jika lebih atau kurang dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang lainnya misalnya untuk fakir miskin semuanya, maka hal tetap diperbolehkan, dan dalam masalah ini ada kelonggaran.
            Jika ingin menyedekahkan semuanya, bagi shohibul qurban tentu tak mengapa, dan tentu pahalanya melimpah
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah). (HR> Bukhari dan Muslim)
            Dari sini bisa diambil kesimpulan, memang jika ingin menyedekahkan seluruh  hasil qurban kepada fakir miskin, tak mengapa itu juga baik adan dicatat sebagai amal perbuatan baik, namun jika dibagi sepertiga bagian untuk fakir miskin, sepertiga bagian untuk tetangga dan kerabat dan sepertiganya lagi memang bagian untuk shohibul qurban. Semuanya untuk ukuwah, meningkatkan keimanan dan tali persaudaraan, dan belajar berqurban untuk kepentingan agama.

Referensi : berbagai sumber